Surat untuk para civitas akademika *)

Kepada para civitas akademika

Di universitas manapun di dunia


Dengan hormat,

Wahai para civitas akademika..

Kemana arah menuju kebenaran sejati ? Apakah kebenaran telah mati ? Masih sehatkah dia ? Atau.. sudah tiadakah dirinya ? Jika memang benar gosip yang berkata bahwa dia telah mati.. dimana kuburnya ? sehingga bisa kutabur kembang kehidupan dan kusiram dengan airmata kesedihanku ini.

Wahai para civitas akademika..

Siapakah kurikulum ? Apakah dia anak baru di universitas ini ? Darimanakah dia berasal ? Dari gosip aku dapatkan kenyataan bahwa dia adalah penjelmaan iblis belaka. Gosip juga bilang kalau dia adalah tangan panjang dari para setan penguasa jahanam. Benarkah itu ? Ah.. jika itu tidak benar.. kenapa tangannya sangat jauh merengkuh relung-relung kebenaran dalam hidup ini ? Jika dia malaikat, apakah dia bisa menyelamatkan hidup ini ? Jika dia pengganti kebenaran yang telah mati, apakah dia ada karena kenyataan hidup ini ?

Wahai para civitas akademika..

Apakah dikau masih berada di pojok-pojok ruang kuliah. Apakah dikau masih berada di bangku-bangku kosong ruang kuliah. Apakah dikau masih saja terpekur dan tertidur ketika para guru mengajarimu kebenaran yang entah semu atau azali ?

Wahai para civitas akademika..

Aku masih kangen dengan para aktifis. Masih hidupkah mereka ? Atau.. telah matikah ideologi mereka. Telah putus tangan panjang mereka untuk mencari kebenaran karna kebenaran telah mati ? Ataukah tangisan ayah bunda telah membuat mereka patuh pada system yang terus membelenggu mereka dengan kebenaran-kebenaran semu ? Atau.. ternyata mahluk baru bernama kurikulum telah mengajakmu (dengan paksaan atau tidak paksaan) untuk terus menekuni buku-buku yang tak lagi mengajarimu tentang hidup ?

Duhai para civitas akademika..

Tangis orang tua dan anak-anak kita kadang membutakan kita dari kebenaran yang hakiki. Kadang kupikir, lebih baik aku masih tetap bersembunyi dibalik nama besar almamater saja, sehingga tak ada salahnya aku berada disini terus untuk terus mengumpat dunia bahkan Tuhan sekalipun.

Wahai para civitas akademika..

Universalkah dirimu saat ini ? Atau malah masih fakultatif ? Atau bahkan jurusanisme telah mengkotak-kotakkan dirimu dalam tempurung kelapa sang katak egoismemu ? Duh.. betapa susah hidup ini bukan ? Ketika rakyat menjerit, kita tidak bergerak, maka kita salah dimata rakyat. Ketika ayah ibu menjerit karena kita tidak cepat lulus, kitapun salah karena kita sangat bodoh dalam mata pelajaran yang tidak obyektif

lagi. Ketika kita melawan kurikulum, kitapun dianggap membangkang pada orang tua virtual kita yang disebut guru/dosen dan para pengajar lain. Duh.. susahnya jadi dirimu.

Wahai para civitas akademika..

Ketika kau ajarkan kebenaran, maka kau disebut dosen yang arogan. Ketika kau bermurah hati pada nilai-nilai semu mata kuliah, kau disebut dosen gampangan. Ketika kau mengajarkan obyektifitas nilai, kau dibilang menghambat kelulusan. Ketika kau sibuk memberi makan anak istri dirumah dengan pekerjaan-pekerjaan lain diluar mengajar, kau dibilang dosen proyekan. Bahkan ketika kau tidak mengajarkan apa-apa, kau dibilang makan gaji buta. Duh.. susahnya jadi dirimu.

Wahai para civitas akademika..

Jika kau marah karena surat ini, maka maafkan aku. Akupun terbelenggu oleh otakku, untuk menyerah pada jari-jari pemberianNya, untuk mengungkap gundahku pada tulisan ini. Maafkan aku ya.. Jika kau tersinggung karena harga dirimu merasa terinjak-injak oleh tulisan ini, maafkan hatiku yang juga makin tersayat oleh realitas di depan mataku. Dan jika kau bertanya padaku yang mana kebenaran yang sejati, maka aku hanya bisa bilang bahwa akupun tak tahu, karena jika memang benar kebenaran yang sejati yang aku temukan, maka seharusnya aku buta olehnya, aku tuli oleh suaranya dan aku terdiam tak menulis sebentuk hurufpun karenaNya.

Wahai para civitas akademika…

Seorang nabi pernah bilang bahwa jika kau mengalami kesulitan, berhijrahlah. Seorang nabi yang lain berkata bahwa engkau harus memberikan pipimu yang lain untuk ditampar. Seorang nabi yang lain berkata engkau harus duduk, berdiam diri dan bersamadhi untuk menuju kebenaran itu. Bahkan seseorang yang tidak memiliki tuhan dan nabi sekalipun memberikan petunjuk untuk menyerah pada logika otak tumpulmu. Jalan manakah yang akan kau pilih ? Aku ? hmm.. aku hanyalah penjaga pintu dan pembuat peta saja. Karena aku tidak bisa kemana-mana saat ini. Hanya terduduk di depan kata-kata yang mengalir dari benak kusutku.

Wahai para civitas akademika…

Akan kau bawa kemana nama besar almamater ini ? Apakah nama besar almamater ini terlalu besar, sehingga tak mampu kau bawa ? Apakah engkau sebenarnya tidak mengharap dirimu disini ? Atau.. sebenarnya ini semua hanya mimpi indah yang tidak terlalu indah, dan tiba-tiba kita terbangun diatas kasur dan menyadari bahwa selama ini hanya mimpi ?

Wahai para civitas akademika…

Terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan dalam benakku yang kadang aku berharap pertanyaan itu tidak ada pada sel-sel otakku. Coba kau lihat otak tumpulku.. Semuanya.. dan hanya kau temukan kekosongan belaka.

Wahai para civitas akademikia…

Telah lama proses ini berjalan, telah rindu hati ini mengadu, namun tak jua rasa kangen kepada kebenaran kau puaskan. Akhirnya, aku hanya bisa melihatmu melintas di rentang waktu, membiarkan dirimu lewat begitu saja di arus jaman dan hanya bisa berharap, suatu saat kau bertemu dengan kebenaran hakiki di kematianmu nanti.

Malang, 2 September 2007

(* surat ini diketemukan di tong sampah sebuah universitas. Kemungkinan besar surat ini tidak pernah sampai pada tujuannya karena pihak terkait menolak menerimanya)

...terbaca 280 kali...